H |
idup akan lebih berwarna dan terasa indah dengan adanya cinta. Karena cinta dan dicintai merupakan fitrah manusia. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana manusia memposisikan cinta. Karena kebanyakan dari kita salah mengartikan cinta. Yakni, cinta akan dunia dan takut mati.
Ada sebuah kisah cinta menarik dari daratan tandus Mekah, dan konon kisah ini abadi sepanjang jaman. Suatu hari Nabi Ibrahim as mengatakan mimpinya dengan hati-hati kepada anaknya, Nabi Ismail as. “Wahai anakku. Aku telah bermimpi dan melihat diriku menyembelih dirimu. Bagaimana pendapatmu?”
Sebagai seorang ayah yang dikurniai seorang putera yang sejak puluhan tahun diharap-harapkan dan didambakan, seorang putera yang telah mencapai usia di mana jasa-jasanya sudah dapat dimanfaatkan oleh si ayah, seorang putera yang diharapkan menjadi pewarisnya dan penyampung kelangsungan keturunannya, tiba-tiba harus dijadikan qurban dan harus direnggut nyawa oleh tangan si ayah sendiri.
Ismail kecil menyatakan pendapatnya dengan tegas. Pertama-tama ia mengingatkan ayahnya sebagai hamba Allah terpilih. Kemudian ia melanjutkan, “Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Allah SWT kepada Ayah. Insya Allah ayah akan mengerti bahwa aku adalah orang yang sabar.”
Mendengar itu, Nabi Ibrahim merasa lega. Ternyata anaknya yang belum dewasa itu sudah mampu itu memikul tugas Allah yang sangat berat. Ismail kecil telah menyediakan dirinya untuk dikorbankan. Bila memang itu perintah Allah, maka jiwa dan raga harus siap dikorbankan.
Mendengar itu dipeluknyalah Ismail kecil dan dicium pipinya oleh Nabi Ibrahim as seraya berkata, "Bahagialah aku mempunyai seorang putera yang taat kepada Allah, bakti kepada orang tua yang dengan ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah".
Inilah cinta tertinggi. Bagaimana Nabi Ibrahim as rela mempersembahkan buah hatinya, dan bagaimana buah hatinya tak gentar dipersembahkan oleh ayahnya. Kisah inilah yang akhirnya menjadi sejarah turunnya syari’at untuk berkurban (Idul Qurban) pada bulan haji.
Seperti halnya juga yang dituturkan Ustadz H. Yopi Nurdiansyah, Lc. melalui telephone , “Inti dari Idul Adha adalah pengorbanan saat Nabi Ibrahim as diuji oleh Alloh untuk mengorbankan Nabi Ismail inilah dimulainya syariat berkurban.”
Selain menggalang solidaritas dan tolong menolong, berkurban memiliki makna lain, yaitu persembahan cinta. Sebuah gambaran kepatuhan sejati berlandas cinta kepada Allah. Sehingga Allah menjadikan beliau salah satu nabi ‘ulul azmi.
BENTUK KEKINIAN DARI BERKURBAN
Dalam konteks sekarang ini, pengorbanan Nabi Ibrahim as tersebut harus kita apresiasikan. Dalam berbagai macam cara seperti menjalankan haji bagi yang mampu serta berkurban hewan ternak bagi umat Islam yang memiliki cukup kelebihan harta untuk melaksanakannya. Bahkan Rasulullah saw memerintahkan berkurban dengan bahasa yang tegas dan lugas bahkan disertai ancaman.
"Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri (mendekati) tempat shalat kami". (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Ustadz Yopi menjelaskan, “Apalagi di zaman sekarang bahwa pengorbanan itu merupakan satu hal yang sangat langka, karena memang manusia sudah banyak terbawa oleh arus materialistis. Sehingga hanya orang-orang yang dipilih oleh Allah, mereka yang mendapat suatu keinginan dalam hatinya untuk mengorbankan apa yang dia miliki dengan pengorbanan yang baik. Sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW.”
Berkurban bukan sekedar mengalirkan darah binatang ternak, atau memotong hewan kurban saja. Berkurban bisa diartikan ketundukan total terhadap perintah-perintah Allah swt dan sikap menghindar dari hal-hal yang dilarang-Nya. Allah swt ingin menguji hamba-hamba-Nya dengan suatu perintah, apakah ia dengan berbaik sangka kepada-Nya dan melaksanakan dengan baik (tanpa ragu-ragu), seperti yang telah dicontohkan Nabi Ibrahim as.
Berkurban juga berarti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan karenanya seluruh sisi kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap berkurban. Namun demikian kita juga harus senantiasa menginterpretasikan keteguhan ketaatan dan ketabahan dalam kisah nabi Ibrahim tersebut zaman kita hidup saat ini. Ketabahan Ibrahim untuk merelakan puteranya dapat kita wujudkan dalam kerelaan kita untuk berbagi kebahagiaan dengan para tetangga, lingkungan dan saudara-saudara umat Islam lainnya di manapun mereka berada.
“Bentuk-bentuk konkret berkurban ketika kita bisa membantu orang lain terutama ditengah musibah yang kini melanda saudara-saudara kita. Maka ini merupakan momentum yang diberikan Allah SWT. Apakah umat Islam yang lain peduli terhadap saudaranya atau tidak. Maka yang membantu itu Insya Allah menjadi salah satu bukti nyata kita, mengorbankan yang kita mampu. Karena laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha, Allah tidak membebani (seseorang), kecuali yang kita mampu,” ujar ustadz Pemateri Fikih di Pesantren Mahasiswa Ash-Shofwah ini.
Berkurban juga berarti upaya menyembelih hawa nafsu dan memotong kemauan syahwat yang selalu menyuruh ke arah kemungkaran dan kejahatan. Kita berani menyembelih kemauan pribadi yang bertentangan dengan kemauan kelompok, atau keinginan pribadi yang bertentangan dengan syariat. Bahkan kemauan kelompok namun bertentangan dengan perintah Allah swt.
Dengan semangat ini, bentuk-bentuk kemungkaran akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan di bumi pertiwi ini. Karena itu Allah swt menegaskan dalam firman-Nya dalam surat Al-Hajj ayat 37, "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik."
Sebagai guru, akan berkurban dengan ilmunya. Pengusaha berkurban dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi berkurban demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin berkurban untuk kemajuan rakyat dan bangsanya, bukan untuk pribadinya dan begitu juga seterusnya. (pras)
Ustadz Yopi menjelaskan, “Apalagi di zaman sekarang bahwa pengorbanan itu merupakan satu hal yang sangat langka, karena memang manusia sudah banyak terbawa oleh arus materialistis. Sehingga hanya orang-orang yang dipilih oleh Allah, mereka yang mendapat suatu keinginan dalam hatinya untuk mengorbankan apa yang dia miliki dengan pengorbanan yang baik. Sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW.”
Berkurban bukan sekedar mengalirkan darah binatang ternak, atau memotong hewan kurban saja. Berkurban bisa diartikan ketundukan total terhadap perintah-perintah Allah swt dan sikap menghindar dari hal-hal yang dilarang-Nya. Allah swt ingin menguji hamba-hamba-Nya dengan suatu perintah, apakah ia dengan berbaik sangka kepada-Nya dan melaksanakan dengan baik (tanpa ragu-ragu), seperti yang telah dicontohkan Nabi Ibrahim as.
Berkurban juga berarti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan karenanya seluruh sisi kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap berkurban. Namun demikian kita juga harus senantiasa menginterpretasikan keteguhan ketaatan dan ketabahan dalam kisah nabi Ibrahim tersebut zaman kita hidup saat ini. Ketabahan Ibrahim untuk merelakan puteranya dapat kita wujudkan dalam kerelaan kita untuk berbagi kebahagiaan dengan para tetangga, lingkungan dan saudara-saudara umat Islam lainnya di manapun mereka berada.
“Bentuk-bentuk konkret berkurban ketika kita bisa membantu orang lain terutama ditengah musibah yang kini melanda saudara-saudara kita. Maka ini merupakan momentum yang diberikan Allah SWT. Apakah umat Islam yang lain peduli terhadap saudaranya atau tidak. Maka yang membantu itu Insya Allah menjadi salah satu bukti nyata kita, mengorbankan yang kita mampu. Karena laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha, Allah tidak membebani (seseorang), kecuali yang kita mampu,” ujar ustadz Pemateri Fikih di Pesantren Mahasiswa Ash-Shofwah ini.
Berkurban juga berarti upaya menyembelih hawa nafsu dan memotong kemauan syahwat yang selalu menyuruh ke arah kemungkaran dan kejahatan. Kita berani menyembelih kemauan pribadi yang bertentangan dengan kemauan kelompok, atau keinginan pribadi yang bertentangan dengan syariat. Bahkan kemauan kelompok namun bertentangan dengan perintah Allah swt.
Dengan semangat ini, bentuk-bentuk kemungkaran akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan di bumi pertiwi ini. Karena itu Allah swt menegaskan dalam firman-Nya dalam surat Al-Hajj ayat 37, "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik."
Sebagai guru, akan berkurban dengan ilmunya. Pengusaha berkurban dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi berkurban demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin berkurban untuk kemajuan rakyat dan bangsanya, bukan untuk pribadinya dan begitu juga seterusnya. (pras)
KATA MEREKA:
MEMAKNAI BERKURBAN
Restu Wibisono, 20 tahun, ketua Forum Komunikasi Dakwah Islam Fakultas Bagaimana kita mampu mengorbankan waktu kita dan masa muda kita untuk berdakwah. Karena memang di masa muda waktu itu betapa berat, karena memang godaan di luar sana atau namanya tawaran kehidupan di luar sana begitu menggiurkan. Tapi kita berusaha untuk memilih, lebih memilih, jalan yang memang sangat berat untuk menyeru kepada Allah. Itu adalah pengorbanan di masa muda.
Lasmiati, 45 tahun, Pedagang.
Bukan cuma berkurban sapi, membiayai anak juga, ngasih ke orang lain juga. Sama memberi ke sesama manusia. Jadi saling bantu membantu gitu. Kalau orang lain ada kesusahan kita suka ngasih begitu.
Wianti Aisyah, 20 tahun, ketua Forum Lingkar Pena Jatinangor
Berkurban pada zaman sekarang itu, bukan hanya secara jasmani. Paling tidak bisa lewat materi, bisa lewat tindakan (action). Kalau Nabi Ibrahim pada zaman itu berkurban menaati untuk menyembil karena Allah. Kalau zaman sekarang lebih bagaimana sih kita berkurban untuk orang-orang di sekitar kita. Seperti apabila memiliki harta kita kurbankan atau sedekahkan. Sebagai mahasiswa sumbangsih dari hasil pemikiran kita pada suatu masalah. Sebagai problem solving. Karena itu merupakan salah satu dedikasi dari kita berkurban. Jadi berkurban itu bukan hanya kita membeli kambing pas Idul Adha lalu kita bagikan ke orang-orang. ***(pras)

