Dalam sebuah kelas, seorang guru bertanya pada murid-muridnya.
“Anak-anak yang ibu sayangi, siapa di antara anak-anak yang sudah punya cita-cita silahkan angkat tangan kanannya dan katakan saya.” Serempak semua murid berseru gaduh, mengacungkan tangan kanannya berkata, “Saya Bu! Saya Bu! Saya Bu!”
Sang guru terlihat senang dan bangga pada murid-muridnya. Kemudian meminta 3 orang murid untuk maju ke depan kelas, mengutarakan cita-citanya.
“Nah Tono, silahkan ungkapkan cita-citamu dengan alasannya,” pinta Bu Guru pada seorang anak laki-laki yang selalu tampil rapih dan wangi saat pergi ke sekolah.
“Kalau Tono sudah besar, Tono mau jadi presiden, Bu. Biar mamah tidak perlu pusing-pusing mikirin harga BBM yang terus naik.”
Bu Guru hanya geleng-geleng kepala, mendengar alasan dari Tono. Ada-ada saja. “Nah, Tini kalau kamu sudah besar, kamu mau jadi apa?”
“Kalau Tini sudah besar, Tini mau jadi ibu rumah tangga aja, Bu. Kayak bunda Tini di rumah. Tini mau masak makanan yang enak-enak buat keluarga. Tini juga mau punya anak banyak. Biar keluarga Tini terlihat besar dan rame, juga ceria bu.” ungkap Tini panjang lebar. Bu guru manggut-manggut mendengarkan.
“Nah, Toni sekarang giliranmu, apa cita-citamu nak?”
“Kalau Toni sudah besar, Toni mau mewujudkan cita-cita Tini, Bu. Toni mau menjadi ayah yang baik.”
Hi-hi-hi...
Maaf, cerita di atas 100% fiktif. Hanya karangan semata. Entah mengapa di tengah gembar-gembor media tentang harga BBM, serta protes pedas dari masyarakat, tiba-tiba saja cerita di atas hadir menelusup dan membuat saya terhibur.
Saya jadi teringat dalam sebuah perjalanan menuju Cawang Jakarta, di atas sebuah bus kota seorang penjaja tembang tiba-tiba bertanya kepada kami para penumpang, “Seandainya anak-anak bangsa seperti kami diculik oleh monster besar, apa yang akan bapak-ibu penumpang bus lakukan?”
Pemuda tanggung berkaos tanpa lengan bertanya, dengan intonasi dan mimik ketakuatan, layaknya pertunjukan teater jalanan. Para penumpang yang ditanya diam, beberapa tidak peduli, asyik dengan lamunannya. Beberapa berbisik, “Hanya pertanyaan bodoh. Mana ada monster di Jakarta. Lagian anak itu tahu apa tentang monster?”
Yap, akal sehat saya berkata sepakat. Mana ada monster yang menculik anak-anak di masa kini. Yang ada hak anak-anak yang terculik. Eh, tunggu sebentar, apa mungkin yang dimaksud pemuda tanggung tadi adalah monster berwujud sistem tatanan sosial, pola pikir, ideologi, lifestyle, pola hidup yang nantinya mempengaruhi perangai mereka? Ya ampun, kalau begitu adanya kita harus benar-benar ekstra waspada. Bisa jadi kita tidak menyadari arus budaya asing yang terserap oleh mereka tanpa sempat terfilter.
Mereka meniru-niru gaya berpakaian ala Korea misalnya. Jins belel ketat, atau celana jins selutut (Hiii!) Rambut di lancip-lancipin ala punk. Jalan beritme, lenggak-lenggok. Anggota tubuh di tato, dan entah atribut macam mana lagi yang hendak mereka tiru. Belum lagi perangai arif anak bangsa lain yang banyak telah tercerabuti.
Lantas siapakah nantinya yang mengemban amanah bangsa, mewarisi kebijaksanaan pendulum-pendulum kita?
Wuidih pertanyaa berat nih. Barangkali sama beratnya seperti yang pemuda tanggung tadi sampaikan. Namun dari situlah sebuah pertanyaan sederhana hadir lagi. “Apa yang akan kita perbuat demi menjaga mereka?”
Baiklah, supaya tidak terlalu membingungkan, mari kita simak potongan kisah yang saya sarikan dari salah satu novel favorit saya, “Pukat”.
Alkisah, tengah malam, di suatu kampung pedalaman, sekawanan kelompok mencuri hasil tani dan ternak penduduk kampung, menjarah harta benda penduduk kampung, perhiasan warga, uang dusun, dan apa saja harta yang ada. Tak lupa mereka juga membawa anak-anak warga kampung. Sementara para orang tua tidak bisa berbuat apa-apa.
Pemuda kampung kelewat takut menghadapi kawanan yang jumlahnya belasan. Mereka tidak segan-segan memuntahkan timah panas, ataupun menebas batang leher sesiapa yang berani menghadang dengan parang.
Sampai akhirnya seorang pemuda dengan gagah tampil di Bale Kampung. Ia berteriak lantang, “Mereka boleh mengambil hasil tani dan ternak kita, harta benda kita, tetapi mereka tidak boleh coba-coba mengambil anak-anak kita...”
Memang kawanan perampok itu bertahan hidup dengan menjarah hasil bumi penduduk, serta harta benda dan menculik anak-anak yang bisa dikader menjadi bagian dari gerombolan.
Syukurlah semangat menggelora yang pemuda tadi pekikan, membakar amarah penduduk kampung untuk mengejar kawanan tadi. Sampai matahari menjelang akhirnya kawanan perampok satu per satu berhasil mereka bekuk. Mereka berhasil menyelamatkan anak-anak mereka.
Tidak mengapa harta benda kampung banyak yang tidak kembali utuh. Karena ada harta hebat yang tak terbilang harganya selamat. Lebih berharga berjuta ton tambang dan batu bara yang terpendam dalam perut bumi, lebih berharga ribuan hektar ladang pertanian beserta harta benda lainnya. Merekalah anak-anak, warisan paling berharga sepanjang masa.
***
Sabtu sore. Matahari tumbang di ufuk barat. Sinar kemerahannya bersulam menggelap. Dipinggiran perkampungan jati asih, kota Bekasi, selepas sholat maghrib, anak-anak tidak lantas berhambur pulang dan nonton TV. Mereka menjalankan rutinitas mengaji. Belajar juz ‘amma, mendengar ustadz cerita tentang akhlak Nabi, kisah-kisah heroik Sahabat Nabi beserta hikmahnya. Sang ustadz dengan tulus mengajar, tanpa meminta imbalan. Walau ada satu dua orang tua yang dengan ikhlas memberi.
Selesai sholat saya mampir ke rumah Bu Iyam (guru SD saya). Bu Iyam termasuk guru honorer yang sudah belasan tahun mengabdi di SDN 02 Poncol Bekasi. Yang saya sesalkan adalah mengapa pemda baru-bari ini mengangkat beliau jadi PNS? Tapi ya sudahlah, toh Bu Iyam tidak menuntut banyak. Karena ia adalah seorang yang mengajar anak-anak dengan tulus dan tanpa beban.
Pernah Bu Iyam merawat saya sewaktu almarhumah ibu saya di rawat berbulan-bulan di RS Pasar Rebo. Beliau telaten, layaknya merawat saya seperti anaknya sendiri. Baginya mengajar adalah profesi membanggakan, menjadi inspirasi dan teladan bagi mereka demi terpeliharanya budi pekerti calon pemimpin bangsa.
Dan kini, giliran saya dan juga Anda merawat generasi berikut serta memberi teladan bagi mereka. Apapun caranya, apapun bentuknya, sekecil apapun (tapi kalo bisa sih jangan kecil-kecil banget) kita harus mampu menjawab, “Apa yang akan kita wariskan demi terpeliharanya perangai baik mereka?”
Selamat menjawab :-)
***
Bekasi, 31/3/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar