Jakarta. Satu kota tapi memiliki banyak masalah. Kemacetan misalnya, yang selalu saja menghantui para pengguna jalan raya. Terutama di jam-jam sibuk, dimana warga Jakarta dan sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi berduyun-duyun memacetkan jalan. Banyak sekali kerugian yang ditimbulkan dari kemacetan, seperti banyak waktu terbuang di jalan, produktivitas kerja menurun, penggunaan bahan bakar tidak efisien, serta kerugian kesehatan.
Selain menyoal kemacetan, Jakarta juga memiliki masalah tata ruang kota. Dimana banyak proyek pembangunan yang tak kunjung selesai, seolah-olah dibuat asal-asalan. Beberapa ruas jalan dan jembatan bahkan tak terurus. Banyak lubang di sana sini. Kemudian banjir yang tak kunjung teratasi kala hujan turun deras. Baik itu akibat luapan air kali, minimnya daerah resapan dan drainase yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Kemiskinan juga semakin akut saja. Dimana angka penderita gizi buruk masih cukup tinggi. Belum lagi berbicara kriminalitas, ledakan populasi penduduk, pengelolaan sampah, penyimpangan perilaku remaja dan masih banyak lagi.
Well, jika Anda dipercaya memimpin Jakarta, kira-kira langkah apa nih yang hendak Anda lakukan?
Mendekati Pilkada beberapa teman saya di Jakarta pesimis dengan kandidat yang ada. Percuma saja memilih, toh mereka sama saja dengan pemimpin sebelumnya. Hanya pintar mengumbar janji. Katanya ahli mengantisipasi banjir, bilang ahlinya mengatasi kemacetan. Nyatanya? Bus transjakarta belum efektif mengurangi kemacetan. Pembangunan banjir kanal pun tak kunjung selesai.
Beberapa teman saya yang lain mencibir dan menghinanya, dengan karikatur atau foto-foto nyeleneh (seperti presiden kala isu BBM naik) di publish di situs jejaring sosial. Kemudian pengguna jejaring sosial lain ikut-ikutan komen, ikut-ikutan mencibir, bahkan ada cibiran yang tidak pantas di alamatkan, seolah-olah mereka merasa paling benar.
Belakangan saya bergumam sendiri menanggapi perilaku teman-teman saya itu, “Begitukah caranya mengingatkan pemimpin kita?”
Memang saya sadari bahwa dalam membangun kota kelahiran saya ini, pemerintah lamban dalam proses berbenah. Namun, sebagai warga setidaknya kita ikut berpartisipasi membangun, bukan ikut-ikutan berpartisipasi mengejek, mencibir, menghujat secara berlebihan.
Saya jadi teringat pesan guru ngaji saya, “Jadilah pemain, jangan melulu jadi penonton yang pintar berbunyi tapi kosong isinya...”
Hmmm... kalimat yang bisa kita renungi bersama.
Ohya, ngomong-ngomong tentang kepemimpin Jakarta, saya jadi teringat akan kisah seorang Khalifah Daulah Abbasiyah, yang pernah ditulis Mas Salim A. Fillah (tentunya Anda sudah mengenalnya bukan J).
Begini ceritanya. Suatu ketika saat sedang bertemu publik di masjid, sang khalifah dikritik keras dengan teguran membabi buta oleh seorang ulama. Dengan tersenyum dia berkata, “Coba katakan padaku Syaikh, mana yang lebih buruk antara aku dengan Fir’aun yang ditenggelamkan Allah?”
“Tentu saja Fir’aun masih lebih buruk!”
“Dan mana yang lebih baik antara engkau dengan Musa ‘Alaihis Salaam?”
“Apa?! Astaghfirullah. Tentu saja Musa lebih baik.”
“Jika engkau tak lebih baik darinya, mengapa engkau perlakukan aku begitu buruk dari Fir’aun. Bahkan Musa as saja diperintahkan lemah lembut terhadap Fir’aun?”
Yuk, kita renubgi ayat berikut.
“Maka bicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut (qaulan layyinan), mudah-mudahan dia sadar dan takut.” (QS. Thaha:44)
***
Namanya Pak Zaelani. Saya baru berjumpanya sekali di rumah teman saya, Doddy, di Century 2 Pekayon. Malam itu beliau datang menggantikan guru ngaji saya yang mendadak meninggalkan kami ke Singapura. Malam itu juga saya mengenal sosok pribadi yang santun bertutur kata, luwes bertinteraksi, tegas, dan jujur dalam mengambil sikap.
Pak Zaelani bekerja sebagai seorang akuntan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Yang saya dengar dari beberapa kerabatnya, beliau pribadi yang juju dalam mengaudit anggaran RSCM. Tidak sedikit kontraktor pengadaan perlengkapan RSCM yang ditolak amplopnya (maksudnya suap gituh ^^). Kecuali jika RSCM betul-betul membutuhkannya.
Pak Zaelani adalah sosok yang luwes dalam berinteraksi. Tidak peduli mereka bawahan atau atasan. Beliau juga membangun atmosfer spiritual dengan mengadakan pengajian rutin di masjid RSCM. Mengajak para dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya untuk lebih dekat dengan Allah SWT. Setidaknya lewat pendekatan spiritual, beliau mengingatkan betapa mereka harus benar-benar total dalam melayani masyarakat. Semata-mata dikerjakan karena Allah SWT.
Yah, saya masih yakin walaupun persoalan ibukota beragam, pada akhirnya masih ada orang-orang seperti Pak Zaelani, yang masih semangat berkontribusi memberikan yang terbaik bersama pemerintah melayani masyarakat. Ayah saya pernah bilang, membenahi Ibu kota bukan semata dibebankan pada gubernur seorang ataupun pemerintahan daerah, semua elemen juga mesti bertindak. Maka dari itu yuk saatnya bertindak, berikan apa yang bisa kita beri untuk kota tercinta. Bukankah selalu ada yang namanya harapan.
Dan ingatlah selalu petuah sakti guru ngaji saya (he-he-he senjata kalee sakti), “Jadilah pemain, jangan melulu jadi penonton yang pintar berbunyi, eh eh tapi kosong isinya...”
***
Bekasi, 9/4/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar