Kamis, 26 April 2012

MENDADAK BANGKRUT


Tiga orang kakek tengah menceritakan prestasi anaknya. Kakek pertama bercerita, “Dulu anakku paling tidak pintar di sekolah. Raportnya banyak nilai merah. Tapi sekarang setelah dewasa ia menjadi kapolda.”
            
Kakek kedua tidak mau kalah, “Dulu anakku paling lemah fisiknya. Sering sakit-sakitan. Tapi sekarang setelah dewasa ia menjadi kapolri.”
            
Kakek ketiga pun juga tidak mau kalah. Sembari menyungging senyum, menyepelekan prestasi dari kedua anak kakek tadi, ia bercerita. “Anakku dulu memang bandel. Suka mencuri mangga, menjahili anak perempuan, dan berkelahi. Tapi sekarang sudah 15 tahun menjadi buron, tidak ada satu pun polisi yang mampu menangkapnya.”
            
He-he-he… sudah dulu aah ketawanya. Yah, gara-gara cerita di atas saya harus berkaca lagi nih sama cita-cita saya.

Setidaknya sudah dua kali saya merevisi peta hidup. Pertama, pada pertengahan 2008, saat saya masih imut-imutnya mejadi mahasiswa he-he-he. Kedua, awal 2010 setelah saya dipaksa-paksa oleh Ari Hadipurnama (teman terganteng saya) ikutan motivation discussion di pondok keajaiban. Banyak juga yang saya revisi, mengingat ada beberapa yang tidak relevan dengan kondisi saya kala itu.
  
Alhamdulillah, dari sekian rancangan mimpi ada beberapa yang terwujud. Seperti memiliki motor sendiri (pssst, padahal dibeliin sama ortu loh) tulisan dimuat di media massa, dan hafal beberapa surat.  Tapi ada satu rancangan mimpi yang membuat kedua alis saya beradu, dan sudah dua kali saya revisi, sampai saat ini belum juga saya gerakkan. Apalagi deadline-nya tahun ini, yaitu punya rumah, menikah, dan punya kendaraan roda empat.
            
Namun, tiba-tiba ada sebuah pertanyaan yang entah dari mana membuat saya pusing tujuh keliling, “Setelah itu semuanya Anda miliki, lantas selanjutnya Anda mau apa?”

Apakah ketika Anda membeli mobil mewah yang, memang diduduki segelintir orang, tapi nyatanya pengguna mobil termewah itu, dengan santainya membuang sampah ke jalan dari balik jendela.   Apakah ketika Anda bisa memesan makanan termahal dari koki-koki hebat, namun tidak semua makanan itu Anda habiskan. Jangan-jangan Anda hanya pamer bisa membuang makanan mahal tanpa perlu merasa iba. Atau apakah Anda bisa berjelajah ke penjuru kota, ke berbagai negara. “Jepret” di tempat yang memang Anda sukai. Kemudian Anda upload untuk jadi foto profile dan di-share ke beberapa teman, biar mereka tahu bahwa orang sukses itu bisa ke kota ini dan kota itu.”
            
Mendadak saya tersentak, meraih mimpi bukan hanya membutuhkan periapan jasmani semata, membutuhkan persiapan rohani juga perlu dipikirkan. Jika tidak, bisa membuat bangkrut. Yah, bisa-bisa kita malah disebut-sebut memiliki mental miskin. Bukankah jiwa yang sehat itu diperlukan untuk mengontrol yang raga. Karena kalau tidak, raga akan melakukan aktivitas yang benar-benar tidak terarah, akibatnya bisa membuat kita mendadak bangkrut. Dan jiwa yang bangkrut adalah hal lumrah, kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Hei jangan-jangan kebiasaan ini menjadi budaya yang mengakar di masyarakat. (Hmm, layak dijadikan bahan penelitian nih he-he-he…)
            
Tapi yang membuat saya sedih justru orang lain malah bisanya menertawakan, mencibir kekonyolan itu, bahkan segelintir menjadikannya sebagai bahan obrolan.
            
Yah, meraih mimpi itu seperti masuk ke medan perang melawan musuh bernama diri sendiri. Maka persiapan mental itu sangat diperlukan. Supaya kita tidak tertipu menjadi sukses dengan menjadi orang kaya, punya rumah gede, punya mobil mewah, punya handphone merek ternama, sepatu kulit yang membuat sesiapa mata memandang akan terkesiap dan lain sebagainya.
            
Menjadi sukses bukan waktunya melampiaskan dendam masa lalu karena tidak memiliki apa-apa. Balas dendam karena pernah dipandang sebelah mata oleh yang lebih dulu hebat atau yang nasibnya dari dulu memang kaya raya. Persiapan mental itu diperlukan saat mengubah cara hidup, dari yang lama menjadi manusia kaya, dan menghadapi resiko setelah perubahan itu.
            
So, kaya dan sukses bukanlah soal situasi keuangannya, tetapi nilai yang ada dalam kondisi itu. Bukankah sebuah peribahasa mengajarkan, “Padi akan merunduk dan semakin merunduk kalau makin berisi?” Jadi sekaya atau sesukses apapun kita harusnya makin merunduk. Bukan tegak sombong dan angkuh. Karena hidup itu baru bermakna kalau kekayaan itu bisa membuat yang kaya serta orang lain yang melihatnya senang dengan prestasi Anda, juga termotivasi untuk bisa kaya.
            
Persiapan jiwa juga berguna untuk lebih bersyukur. Coba deh kita merenung sejenak, dari mana capaian prestasi Anda itu datang? Keberlimpahan hidup Anda itu karena kerja keras dan memang otak Anda encer, atau karena ada elemen lain yang ikut berperan di dalamnya?
         
Kalau tiba-tiba Anda bisa berubah sukses dan kaya, Anda juga bisa dong berubah mendadak bangkrut. Bukan saya mendoakan, yah setidaknya Anda sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. 
***
Jatinangor, 27/4/2012

Minggu, 08 April 2012

Refleksi: JADILAH PEMAIN, JANGAN MELULU JADI PENONTON

Jakarta. Satu kota tapi memiliki banyak masalah. Kemacetan misalnya, yang selalu saja menghantui para pengguna jalan raya. Terutama di jam-jam sibuk, dimana warga Jakarta dan sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi berduyun-duyun memacetkan jalan. Banyak sekali kerugian yang ditimbulkan dari kemacetan, seperti banyak waktu terbuang di jalan, produktivitas kerja menurun, penggunaan bahan bakar tidak efisien, serta kerugian kesehatan.
            Selain menyoal kemacetan, Jakarta juga memiliki masalah tata ruang kota. Dimana banyak proyek pembangunan yang tak kunjung selesai, seolah-olah dibuat asal-asalan. Beberapa ruas jalan dan jembatan bahkan tak terurus. Banyak lubang di sana sini. Kemudian banjir yang tak kunjung teratasi kala hujan turun deras. Baik itu akibat luapan air kali, minimnya daerah resapan dan drainase yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
            Kemiskinan juga semakin akut saja. Dimana angka penderita gizi buruk masih cukup tinggi. Belum lagi berbicara kriminalitas, ledakan populasi penduduk, pengelolaan sampah, penyimpangan perilaku remaja dan masih banyak lagi.
            Well, jika Anda dipercaya memimpin Jakarta, kira-kira langkah apa nih yang hendak Anda lakukan?
            Mendekati Pilkada beberapa teman saya di Jakarta pesimis dengan kandidat yang ada. Percuma saja memilih, toh mereka sama saja dengan pemimpin sebelumnya. Hanya pintar mengumbar janji. Katanya ahli mengantisipasi banjir, bilang ahlinya mengatasi kemacetan. Nyatanya? Bus transjakarta belum efektif mengurangi kemacetan. Pembangunan banjir kanal pun tak kunjung selesai.
            Beberapa teman saya yang lain mencibir dan menghinanya, dengan karikatur atau foto-foto nyeleneh (seperti presiden kala isu BBM naik) di publish di situs jejaring sosial. Kemudian pengguna jejaring sosial lain ikut-ikutan komen, ikut-ikutan mencibir, bahkan ada cibiran yang tidak pantas di alamatkan, seolah-olah mereka merasa paling benar.
            Belakangan saya bergumam sendiri menanggapi perilaku teman-teman saya itu, “Begitukah caranya mengingatkan pemimpin kita?”
            Memang saya sadari bahwa dalam membangun kota kelahiran saya ini, pemerintah lamban dalam proses berbenah. Namun, sebagai warga setidaknya kita ikut berpartisipasi membangun, bukan ikut-ikutan berpartisipasi mengejek, mencibir, menghujat secara berlebihan.
            Saya jadi teringat pesan guru ngaji saya, “Jadilah pemain, jangan melulu jadi penonton yang pintar berbunyi tapi kosong isinya...”
            Hmmm... kalimat yang bisa kita renungi bersama.
            Ohya, ngomong-ngomong tentang kepemimpin Jakarta, saya jadi teringat akan kisah seorang Khalifah Daulah Abbasiyah, yang pernah ditulis Mas Salim A. Fillah (tentunya Anda sudah mengenalnya bukan J).
            Begini ceritanya. Suatu ketika saat sedang bertemu publik di masjid, sang khalifah dikritik keras dengan teguran membabi buta oleh seorang ulama. Dengan tersenyum dia berkata, “Coba katakan padaku Syaikh, mana yang lebih buruk antara aku dengan Fir’aun yang ditenggelamkan Allah?”
            “Tentu saja Fir’aun masih lebih buruk!”
            “Dan mana yang lebih baik antara engkau dengan Musa ‘Alaihis Salaam?”
            “Apa?! Astaghfirullah. Tentu saja Musa lebih baik.”
            “Jika engkau tak lebih baik darinya, mengapa engkau perlakukan aku begitu buruk dari Fir’aun. Bahkan Musa as saja diperintahkan lemah lembut terhadap Fir’aun?”
            Yuk, kita renubgi ayat berikut.
            “Maka bicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut (qaulan layyinan), mudah-mudahan dia sadar dan takut.” (QS. Thaha:44)
***
            Namanya Pak Zaelani. Saya baru berjumpanya sekali di rumah teman saya, Doddy, di Century 2 Pekayon. Malam itu beliau datang menggantikan guru ngaji saya yang mendadak meninggalkan kami ke Singapura. Malam itu juga saya mengenal sosok pribadi yang santun bertutur kata, luwes bertinteraksi, tegas, dan jujur dalam mengambil sikap.
            Pak Zaelani bekerja sebagai seorang akuntan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Yang saya dengar dari beberapa kerabatnya, beliau pribadi yang juju dalam mengaudit anggaran RSCM. Tidak sedikit kontraktor pengadaan perlengkapan RSCM yang ditolak amplopnya (maksudnya suap gituh ^^). Kecuali jika RSCM betul-betul membutuhkannya.
            Pak Zaelani adalah sosok yang luwes dalam berinteraksi. Tidak peduli mereka bawahan atau atasan. Beliau juga membangun atmosfer spiritual dengan mengadakan pengajian rutin di masjid RSCM. Mengajak para dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya untuk lebih dekat dengan Allah SWT. Setidaknya lewat pendekatan spiritual, beliau mengingatkan betapa mereka harus benar-benar total dalam melayani masyarakat. Semata-mata dikerjakan karena Allah SWT.
            Yah, saya masih yakin walaupun persoalan ibukota beragam, pada akhirnya masih ada orang-orang seperti Pak Zaelani, yang masih semangat berkontribusi memberikan yang terbaik bersama pemerintah melayani masyarakat. Ayah saya pernah bilang, membenahi Ibu kota bukan semata dibebankan pada gubernur seorang ataupun pemerintahan daerah, semua elemen juga mesti bertindak. Maka dari itu yuk saatnya bertindak, berikan apa yang bisa kita beri untuk kota tercinta. Bukankah selalu ada yang namanya harapan.
            Dan ingatlah selalu petuah sakti guru ngaji saya (he-he-he senjata kalee sakti), “Jadilah pemain, jangan melulu jadi penonton yang pintar berbunyi, eh eh tapi kosong isinya...”
***
Bekasi, 9/4/2012