YOGYAKARTA. Aku termasuk salah satu saksi mata ketika terjadi peristiwa tragis itu. Persis saat bintik-bintik jingga mulai bermunculan di langit.
Aku melihatnya mengayuh sepedah, pelan membelah jalan dari arah Maskam menuju Fakultas Humaniora. Maskam adalah masjid kampus universitas yang luasnya bisa dikatakan dua kali luas Masjid Ibnu Sina di Jatinangor. Ada kolam pancuran serta taman di belakang Maskam. Ukiran kaligrafinya juga unik. Ada unsur budaya jawanya. Jarak antara Fakultas Humaniora dengan Maskam tidak terlalu jauh. Hanya melewati beberapa perumahan kompleks saja.
Masih ingat betul aku melewatinya untuk sekedar buka puasa bersama ketua Maskam. Namanya aku lupa. Padahal aku masih ingat waktu itu aku ditraktir olehnya makan nasi padang. He-he-he-…
Aku takjub dengan pemandangan disekitaran Fakultas Humaniora. Luas dan sejuk. Pohonnya besar-besar. Tidak gersang seperti kampusku di Jatinangor.
Sore itu pertama kalinya aku melihat dia mengayuh sepedah hitam. Pakaian yang dikenakannya hitam. Bercadar hitam juga. Keranjang besi di depan stang sepedahnya dipenuhi oleh plastik hitam.
Mungkin saja dia mahasiswi fakultas sini. Tapi setelah kutanya kepada ketua Maskam siapa namanya, dia menjawab tidak mengenalnya. Loh, kok bisa? Bukankah mestinya dia tahu nama anggotanya.
Aih, gimana toh? Atau jangan-jangan si serba hitam itu memang bukan kader Maskam? Aku salah kira, tertipu penampilannya.
Pada sore berikutnya kulihat lagi-lagi dia mengayuh sepedah dengan keranjang berisi plastik hitam. Sama seperti kemarin sore. Kali ini dia begitu tergesa. Melewatiku, yang saat itu sedang membagi-bagikan liflet acara bedah film islami untuk hari esok, dengan tergesa juga. Begitu saja meluncur. Dan ketika sepedah dibelokkan ke kiri, keluar dari gerbang, saat itu sebuah kijang hitam menyenggolnya. Cepat! Si empunya sepedah terpelanting ke pinggir badan jalan bersamaan dengan teriakannya.
Aku bergegas menghampirinya.
Plastik hitam dalam keranjang sepedah menumpahkan bungkus-bungkus yang baru kusadari ternyata berisi nasi. Mungkin untuk acara buka puasa bersama, dan kini berserakan nggak karuan di jalan. Sementara kepalanya yang dibalut jilbab hitam penuh dengan darah. Karena tubuhnya sempat terseret beberapa meter. Orang-orang di sekitar gerbang Maskam dan aku bergegas menghampirinya. Sebagian lagi mengejar kijang hitam sembari mencak-mencak. Menyuruh penunggangnya berhenti. Aku meraih sepedah hitam yang setangnya setengah membengkok. Akibat benturan antara kijang tadi dengan badan jalan.
Beberapa menit berselang seorang satpam menawarkan untuk mengantarkan si serba hitam tadi ke rumah sakit terdekat dengan mobil kijang merah. Milik salah satu pengurus Maskam. Beberapa orang pria dewasa dan akhwat ikut mengantar.
Sayang aku tidak turut serta, keburu disamperin beberapa teman untuk segera berbuka puasa, kemudian melanjutkan agenda lain di Maskam. Aku juga tidak tahu lagi kabarnya hingga saat ini. Saat itu diriku yang menjadi panitia road show Festival Film Isalmi tidak memiliki waktu banyak. Hanya tiga hari di Yogyakarta.
***
Manusia hanya bisa berencana dan Alloh yang menentukan. Jadi, serahkan semua kepada-Nya. Bukankah manusia hanya ditugaskan untuk berusaha dan berdoa. Dan yakinlah Alloh benar-benar memiliki ketentuan yang baik. Dan paling baik. Tidak ada pilihan yang tidak baik. Pilihan itu pula yang dialami oleh seorang karyawati berusia dua puluh lima tahun, bernama Vera. Pilihan yang tidak terencana olehnya. Tanpa gentar dia mengucap kalimat syahadat di depan ratusan jemaah Masjid Al-Azhar, Bekasi. Meninggalkan Agama Katolik yang lama menuntun dirinya dan keluarga.
Di malam ke tiga puluh, selepas sholat witri. Sekitar pukul dua puluh satu, kumandang takbir menggema ke seantero sudut Masjid berlantai dua ini. Aku ikut mengabadikan gambarnya. Jepret-jepret. Kamera sakuku menangkap wajah-wajah ceria penghuni masjid.
“Baiklah saya bacakan kembali ya. Saudari Vera mulai malam ini memeluk Agama Islam atas keinginan sendiri. Tanpa paksaan dari pihak manapun. Lillahita’ala. Dan berjanji akan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Silahkan saudari tanda tangan di atas materai ini,” ujar seorang ustadz membimbing Vera, setelah mengucapkan kalimat syahadat.
Iseng kujepret juga Vera. Ku-zoom in, foto close up Vera. Sekedar ingin tahu rupanya. Karena posisiku paling belakang, dan terhalang pula oleh bapak-bapak serta anak kecil yang antusias memperhatikan.
Menurut pengamatan panitia, dibanding malam-malam sebelumnya, malam ini pengunjungnya sangat banyak. Di lantai dua juga penuh. Lantaran banyak orang yang ber-itiqaf malam ini. Walau sudah mendekati malam yang ketiga puluh, jamaah masjid ini luar biasa banyak. Kata ibu kantin penjual masakan padang, banyak pengendara sepedah motor yang melintas jalan raya kali malang dari arah Jakarta singgah di masjid ini.
Ba’da subuh perjalanan dilanjutkan kembali ke arah wetan. Ditambah di malam akhir Bulan Ramadhan masjid ini ketiban berkah dengan bertambahnya saudari baru kita. Seorang mualaf yang nantinya berhak mendapat santunan dari zakat fitrah.
“Sebenarnya apa alasan saudari memeluk (agama) Islam? Atau kesan pertama mengenal Islam seperti apa rasanya? Atau barang kali adakah orang yang mengajak atau mengenalkan ajaran ini atau sebut saja siapa yang memberi inspirasi? Sehingga saudari rela dengan ikhlas memeluk Islam.” beberapa pertanya -dengan penggunaan kata ‘atau’ sangat royal- meluncur deras dari bibir ustadz.
Pengurus masjid membentangkan layar in focus di samping kiri mimbar. Mempertontonkan wajah Vera yang terbalut mekenah putih. Para jema’ah dapat melihatnya lebih dekat sekarang. Sembari menunggu Vera berkata-kata.
“Seandainya dia ada di sini, ingin rasanya aku memeluknya erat. Menciuminya berkali-kali. Sungguh dia, seorang sahabat yang benar-benar memberi pencerahan luar biasa. Sungguh luar biasa,” Vera membuka awal cerita.
Diam sejenak. Ustadz di hadapannya menawarkan air mineral gelas. Dua-tiga kali seruput, kemudian Vera kembali melanjutkan ceritanya.
Vera menceritakan seorang sahabatnya semasa di kampus. Namanya Mbak Leni, walaupun kesehariannya sederhana dan bersahaja, beliau gemar menolong serta ramah pada setiap orang. Terutama kaum fakir. Beliau tidak pernah perhitungan apa lagi pilih kasih. Pernah Vera memergoki Mbak Leni bersama teman se-aktivisnya menyuapkan makanan ke mulut kaum papa, dan beliau tidak merasa jijik. Merujuk perilaku Rasul katanya. Aktivitasnya juga begitu padat. Dan itu tidak mempengaruhi kuliahnya.
Vera pernah meminjam uang ke Mbak Leni, cukup besar juga jumlahnya. Sampai saat ini dia belum mengganti, dan Mbak Leni tidak pernah menagihnya. Katanya anggap saja sebagai sedekah. Beliau juga berkali-kali bersedia membonceng Vera berangkat ke kampus dari kostan. Dengan sepedah hitamnya. Kebetulan Vera dan Mbak Leni satu kostan yang jaraknya cukup jauh dari kampus, dan waktu itu Vera sedang kehabisan ongkos.
“Ajarannya meresap dan terwujud lewat perbuatannya. Dari dirinyalah aku jadi tergugah, untuk mengenal Islam lebih dalam. Dan mulai terpikat. Walau masih sembunyi-sembunyi, karena khawatir orang tua tidak suka.”
Lama Vera berhenti. Ada bening disudut kelopak mata. Pengunjung dan ustadz yang menyaksikan ikut terharu. Adakah seorang wanita sedemikian peduli dengan sesama? Hampir sulit untuk ukuran warga ibu kota. Bahkan sesama teman aktivis di kampus macam kampusku, tidak sedikit gemar menentang kesewenang-wenangan dalam bentuk nyata, tapi kerap kali lupa pada hal-hal kecil yang membuat dirinya secara tidak langsung malah berbuat semena-mena. Ibaratnya menalan ludah sendiri. Perkataannya tidak sebanding dengan ucapannya. Pelajaran nomor tiga seorang aktivis: peka pada lingkungan.
“Sayang benar, saat aku mantap ingin memeluk ajarannya. Dia keburu dipanggil langit. Dia meninggal dalam insiden kecelakaan di dekat kampus. Saat itu dia sangat terburu-buru mengantarkan makanan untuk buka puasa bersama anak-anak yatim. Naas sebuah kijang hitam memupuskan keceriaan. Seandainya dia melihatku di sini, dia pasti akan tersenyum. Karena itu yang dia inginkan.”
“Semoga bisa menjadi pembelajaran kita bersama. Menjadi refleksi, guna menghadapi tantangan pada sebelas bulan ke depan. Semoga kita bersama menjadi alumni Universitas Ramadhan yang tetap teguh dan konsisten menebar benih-benih islam,” ujar seorang ustadz memberikan sedikit pencerahannya panjang lebar.
“Selamat datang saudaraku. Semoga Alloh senantiasa menjaga rahmat dan hidayah-Nya padamu.” Akhirnya ustadz masjid Al-Azhar menutup tausiyah tambahannya.
“Oya aku punya gambarnya.” Vera merogoh selembar foto, kemudian megeluarkannya dari dompet jingga yang menyerupai tempat pensil.
“Boleh kami lihat, silahkan diarahkan ke handy cam. Biar mata kita bisa menangkapnya melalui layar ini,” ustadz mempersilahkan Vera sembari menunjuk layar.
Vera memperlihatkan foto Mba Leni berdampingan dengannya di sepeda hitam. Sepedah itu yang ada keranjang hitam di depannya. Eh, aku pernah melihatnya setahun yang lalu. Di sekitaran maskam. Jangan-jangan. Alamak! Ternyata… perempuan si serba hitam yang dua kali kujumpai itu. Namanya Leni, eh Mbak Leni toh.
Kuingat-ingat lagi dia. Terakhir kulihat pada keranjang sepedahnya ada plastik hitam berisi makanan. Dan makanan itu ternyata untuk…
“Saat itu cowokku yang mengabadikan gambar kami… Yah saat itu aku belum tahu benar batas-batas interaksi pria wanita. Tapi Mbak Leni begitu sabar mengingatkan untuk segera menikah saja. Tapi akunya dan dia belum siap. Dan Mbak Leni tak pernah menyerah mengingatkan…”
***
Jam pada hand phone menunjuk pukul enam kurang lima. Matahari sudah nongol ceria. Dan burung-burung dara sibuk ber-kur-kur. Sementara sekumpulan kapas putih beterbangan tidak sabaran menyambut hari esok. Hari yang Fitri.
Aku begitu gembira menyambut keceriaannya. Setelah kemarin sore langit mendung, dan sering kali hujan turun. Memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan, hujan sering hadir di sore hari.
Di pelataran masjid, aku duduk menghitung-hitung jumlah uang untuk zakat fitrah. Titipan dari ayah yang lupa aku tunaikan. Untuknya, dan kedua adikku. Tadinya aku ingin membayar saat itiqaf di kota Cimahi. Tapi sayang, duitnya tertinggal di saku celana satunya yang tergantung di balik pintu kamar kosanku. Lalu rencana berikutnya hendak kusalurkan ke salah satu Badan Amil Zakat DSA (Dompet Sosial As Shofah) di dekat kampusku, Jatinangor. Tapi aku keburu pergi ke Bekasi. Jadilah terakhir di masjid ini.
Setelah kuhitung jumlahnya, kumasukkan ke dalam amplop putih. Namun tiba-tiba angin kecil menyapu dua lembar bergambar Tuanku Imam Bondjol keluar. Angin yang berasal dari kipas angin dalam dinding masjid. Salah seorang pengurus sedang membersihkan baling-baling kipasnya dengan menelanjangi kipas angin. Lalu meningkatkan kecepatan kipas. Jadilah lembaran-lembaran uangku berterbangan sampai singgah di aspal parkir kendaraan sepedah motor. Tepat menghadap gerbang pintu luar masjid. Persis dekat jalan raya kali malang.
Saat kuraih itu uang, dari kejauhan kulihat dua orang akhwat diseberang jalan tengah asyik berbincang. Persis di sebelah kali malang. Yang satu mengenakan pakaian serba hitam, cadar hitam dan… ada sepedah hitam dengan keranjang hitam di depang gagang stang yang juga berisi plastik hitam. Yang satu mengenakan mekena putih. Ahya, itu seperti Vera dan yang satunya? Masa sih orang itu Leni, eh Mbak Leni.
Kuperhatikan lagi dengan seksama. Kedua jemari telunjukku menggosok-gosok kedua kelopak mata. Jelas ini nyata, mereka begitu asyik bersenda gurau di seberang sana. Pagi hari jalanan tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Dan suasana lengang itu mebuat mataku benar-benar jelas menangkapnya. Ini nyata.
Clingak-clinguk. Kuperhatikan sebagian jemaah masih tertidur pulas. Sisanya membentuk lingkaran-lingkaran, asyik mendiskusikan sesuatu. Di pelataran masjid. Hanya ada beberapa panitia sibuk berlalu lalang. Keluar masuk pintu kesekretariatan masjid. Di depan pintu ada beberapa beras yang sudah ditumpuk. Siap dibagikan.
Oya bayar zakat. Jangan sampai kelupaan. Bergegas kutinggalkan dua orang diseberang jalan yang asyik berbincang. Sekilas mereka melempar senyum padaku. Kubalas sekenanya dan langsung pergi. Mungkin mereka sadar telah kuperhatikan tadi.
“Bayar zakat fitrah untuk tiga kepala pak,” ujarku setelah ditanya keperluannya. Kemudian aku dipersilahkan duduk.
“Siapa saja namanya mas?” tanya bapak yang duduk dihadapanku pelan dan santun.
Kemudian kusebutkan nama-namanya.
Di dalam berisk sekali. Ruangan ini selain sebagai tempat penyaluran zakat, shodaqoh dan waqaf juga sebagai tempat ngobrol juga. Bolehlah bahasa kerennya tempat konsultasi. Sesuai yang tertulis pada papan di depan pintu masuk tadi. “Ruang Konsultasi dan Penyaluran Zakat, Sodaqoh dan Infaq.” Tapi tetap saja ujung-ujungnya ngobrol juga. Parahnya ngobrolin aib saudaranya sendiri malah. Dua orang lelaki yang berada di sebelah kanan mejaku membicarakan orang-orang Salafi yang mereka temui di dalam masjid.
“Perilakunya seperti bukan orang Salaf. Bayangkan baru saja tadi malam ustadz mengingatkan kita semua, mengenai perkataan dan perbuatan yang mesti sejalan. Seperti yang diceritakan oleh mbak mualaf tadi malam. Tapi tetap saja si Salafi itu bertingkah sesuai dalil-dalil yang dipaksa membenarkan perbuatannya,” ungkap pria berkopiah putih berjenggot lebat dengan menyala-nyala.
“Salafi bukan malaikat mas,” singkat lelaki yang diajak ngobrol berusaha menenangkannya.
Beberapa orang berlalu lalang mengangkat kebutuhan logistik. Sementara sekumpulan mba-mba, membicarakan tetang kelakuan pengguna jalan yang semena-mena.
“Seenaknya sopir mikrolet itu. Sampai-sampai tadi subuh merenggut seorang korban jamaah masjid,” ujar salah satu diantaranya dengan nada geram.
“Iya semakin kurang ajar bu. Pengendara motor juga sama saja. Sama ugal-ugalannya. Suamiku pernah keserempet selepas turun dari mikrolet sama motor bebek. Delapan jahitan di lengan akibatnya. Benar-benar keterlaluan,” timpal yang lainnya.
Aku terkejut.
Penasaran kusimak dengan seksama percakapan mbak-mbak itu. Sambil menunggu bapak di depanku selesai menghitung jumlah uang serta mencatatnya di buku laporan.
“Memang dibawa kemana mbak mualaf tadi? Eh, siapa namanya aku lupa. Padahal baru semalam yah,” tanya lelaki berkopiah putih berjenggot lebat, penasaran. Tertarik ikut nimbrung pembicaraan kaum hawa. Setelah sebelumnya membicarakan kejelekan orang Salafi.
“Itu, si Vera loh pak.”
Jantungku berdetak tak karuan. Bukannya barusan memamerkan gigi-gigi putih tersenyum padaku. Bersamaan dengan si serba hitam malahan, eh Mba Leni. Masa sih, kecelakaan. Tak lama berselang setelah membacakan ijab qobul pembayaran zakat, salah seorang pemuda memasuki ruangan. Kemudian mengabarkan bahwa Saudari Vera telaf wafat, pukul enam kurang limat menit. Tepat di pagi ketiga puluh bulan ramadhan.
Aiih, makin lemas saja tubuh ini mendengar berita itu. Lah tadi yang tersenyum padaku siapa. Siapa ya?
***
Duren Sawit, 4 Syawal 1431 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar